Selasa, 11 Mei 2010 - 10:48 wib
One of the most urgent endeavors to be undertaken on behalf of the reconstruction of society is the reconstruction of education–Maria Montessori (Childhood Education,1949)
Anton, pelajar kelas 3 sebuah SMA di Jakarta, harus berpatah hati. Bagaimana tidak,dia mendapatkan nilai 9 untuk mata pelajaran fisika saat hasil ujian nasional diumumkan beberapa waktu lalu. Namun, dia dinyatakan tidak lulus karena pelajaran biologinya hanya memperoleh angka 3. Anton mungkin memang tidak ingin menjadi dokter sehingga tidak terlalu peduli dengan biologi. Ia mungkin bermimpi menjadi seorang ahli nuklir.
Sepanjang beberapa tahun belakangan, ujian nasional memang telah menjadi momok dalam dunia pendidikan kita. Dia menghadirkan sekolah-sekolah yang angker di mana para pelajar hanya diizinkan memiliki satu mimpi; lulus ujian nasional. Tidak ada suasana sekolah yang penuh keceriaan di mana setiap siswa dibebaskan untuk bermimpi seperti dalam novel Laskar Pelangi yang terkenal itu.
Dunia pendidikan kita justru memperagakan pendulum represi. Represi ini melibatkan triangulasi antara negara sebagai pencipta kebijakan, komunitas sekolah yang mencakup guru, murid, dan orang tua murid sebagai pelaksana kebijakan, serta pasar yang pada akhirnya menjadi pengendali kebijakan. Kebijakan represif negara menekan komunitas sekolah di satu sisi, tetapi memberi angin segar bagi pasar di sisi lain.
Kebijakan ujian nasional, misalnya, menciptakan tekanan, bahkan ketakutan, bagi para guru, orang tua, dan para pelajar. Mereka berupaya menempuh cara apa pun agar bisa keluar dari tekanan. Momentum ini dimanfaatkan dengan baik oleh pasar. Guru-guru membuka les privat di luar jam pelajaran dengan beragam tarif. Industri bimbingan belajar juga tumbuh semakin subur dengan janji-janji manis jaminan kelulusan ujian nasional. Industri ini bersifat masa bodoh dengan potensi siswa.
Orang tua siswa yang panik pada gilirannya rela merogoh kocek berapa pun untuk “menyekolahkan” anaknya di “sekolah-sekolah tandingan” tersebut. Ironisnya, tarifnya sering kali jauh lebih mahal dibandingkan “sekolah-sekolah asli”-nya. Para siswa pun harus memeras otak dan menyiapkan energi ekstra untuk memenuhi segala tuntutan ini.
Masyarakat yang Sakit
Sejak 1949 seorang reformis pendidikan dari Amerika Serikat, Maria Montessori, telah mengingatkan bahwa kondisi suatu masyarakat adalah pantulan dari pendidikan mereka; mengubah masyarakat tidak bisa dilakukan tanpa mengubah pendidikan; masyarakat yang sakit adalah cermin pendidikan yang sakit pula. Maria Montessori tampaknya tidak berlebihan. Fakta-fakta yang terjadi di negeri kita belakangan ini telah mengonfirmasi filosofi tersebut.
Pendekatan represif yang terpapar dalam kebijakan pendidikan kita pada dasarnya telah menghasilkan pendidikan yang sakit. Sekolah yang angker, orang tua murid yang panik, siswa yang ketakutan, pasar yang tak terkendali, semuanya menjadi fakta yang mendukung sebuah pendidikan yang sakit; suatu pendidikan yang terlampau mengagungkan hasil dan mengabaikan makna penting proses belajar.
Imbas dari pendidikan yang sakit, seperti kata Montessori, adalah masyarakat yang sakit. Kita bisa melihat perilaku dari sebagian pelajar yang brutal dan destruktif di luar sekolah. Pendidikan akhlak mulia yang mereka peroleh di dalam kelas seakan hanya tinggal teori di atas kertas. Secara lebih luas kita juga bisa mengamati kecenderungan masyarakat kita yang kian sensitif.
Amuk massa terjadi di mana-mana. Bahkan dilakukan oleh mereka yang berbalut jubah agama. Sebagaimana pendidikan yang sakit, begitu pula masyarakat yang sakit. Masyarakat yang selalu mendewakan hasil tanpa peduli pada makna penting proses. Mereka yang menghendaki segala keinginan mereka tercapai dengan cara apa pun, terutama yang bersifat instan. Maka, di tingkat akar rumput, yang jamak terjadi adalah kekerasan fisik, sedangkan di tingkat elite yang umum berlangsung adalah korupsi.
Reformasi Sekali Lagi
Reformasi pendidikan yang telah digariskan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada dasarnya telah banyak menjawab berbagai persoalan di masa lalu meskipun, tentu saja, beberapa kelemahan masih saja ada dan perlu diperbaiki. Hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa UU tersebut telah menganut suatu prinsip desentralisasi pendidikan.
Dengan prinsip ini, pemerintah daerah dan masyarakat telah dilibatkan dalam proses penyelenggaraan pendidikan dalam berbagai satuan dan jenjang. Keterlibatan masyarakat tersebut diwadahi dengan adanya lembaga-lembaga baru seperti dewan pendidikan dan komite sekolah (Pasal 56). Namun, pada pelaksanaannya, pemerintah banyak mengabaikannya.
Pemerintah sebagaimana tecermin baik melalui peraturan pemerintah maupun peraturan menteri tampak berupaya mendorong kembali pendulum ini ke arah sentralisasi. Hak pendidik (Pasal 58 [1]) dan masyarakat (Pasal 59 [2]) untuk melakukan evaluasi belajar, misalnya, dirampas begitu saja oleh pemerintah. Begitu pula hak dan kewajiban pemerintah daerah yang setara dengan pemerintah pusat dalam proses penyelenggaraan pendidikan (Pasal 10 dan 11) dianggap sepi.
Secara teknis, kondisi teritorial Indonesia yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang amat besar tidak mungkin dijamah oleh aparatur pemerintah pusat. Kementerian Pendidikan Nasional sendiri, misalnya, terlihat sangat kedodoran dalam memperbarui data perkembangan pendidikan nasional setiap tahunnya. Pemerintah daerah dan masyarakat lokal tentu saja lebih memahami persoalan pendidikan yang dihadapi di tingkat lokal.
Oleh karenanya, penulis berharap reformasi pendidikan yang berbasis pada desentralisasi dan peran serta masyarakat bisa segera direkonstruksi. Hal itu bukan hanya untuk melepaskan ruang belajar siswa dari belenggu represi negara, tetapi juga untuk menghadirkan sebuah pendidikan yang mampu menjadi panacea bagi masyarakat yang sakit.(*)
M Hanif Dhakiri
Anggota Komisi X,
Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI.
(//mbs)
Pendidikan yang Sakit
Jumat, 28 Mei 2010
0 Comment